Jumlah Korban Bom UN di Indonesia Melebihi Jumlah Korban Bom Maraton di Boston
Dilaporkan dari Boston, bom yang meledak pada acara Maraton yang
diikuti oleh sekitar 23.000 pelari dan disaksikan oleh ratusan ribu
penonton itu diperkirakan menewaskan 3 orang dan menyebabkan 170 orang
luka-luka. Tidak hanya di Boston, sebuah ledakan juga terjadi di
Indonesia. Ledakan ini menyebabkan rusaknya mental dan kerugian materil
hingga moril. Diperkirakan jumlah korban bom UN di Indonesia melebihi
jumlah korban pada kejadian di Boston beberapa waktu lalu.
Sebenarnya tidak ada
kaitan antara UN dengan Tragedi Boston, saya hanya sedang ingin
bermajas-majas ria. Namun ternyata dari majas itu terdapat kesamaan dari
dua tragedi itu, yaitu sama-sama memakan korban dan menimbulkan banyak
kerugian. Bahkan bom UN memakan korban hingga satu Negara. Hampir
seluruh siswa di negeri ini menjadi korban UN. Pendidikan karakter
hampir tidak lagi menjadi fokus di sekolah-sekolah di Indonesia. Para
siswa dan guru terfokus pada materi pelajaran hingga mengorbankan esensi
pendidikan yang sesungguhnya, yaitu memanusiakan manusia dan bukan
menakut-nakuti manusia.
Seorang praktisi pendidikan yang juga merupakan teacher trainer, Itje
Chodidjah, berulang kali melayangkan kritikannya terhadap tragedi UN
yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Beliau menilai kinerja
management pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini tidak memberikan
dampak positif bagi pendidikan di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung,
beliau juga menyindir presiden yang seakan menutup mata dari tragedi ini
melalui akun twitternya pada Kamis, 18 April 2013.
“STOP STOP STOP Ujian Nasional…… Hentikan kamoflase demi pencitraan…
Soal sudah difotokopi dimana-mana. Barcode dengan biaya besar tak
berarti. Anak-anak harus dicurigai sebelum tumbuh.”
“Hanya orang tidak waras yang tidak terusik nunarinya dengan carut
marutnya ujian nasional ini. @SBYudhoyono @Yudhoyono_SB @bincangedukasi”
Jika dipandang langsung pada apa yang terjadi pada UN kali ini,
tampak terlihat bahwa pendidikan yg merupakan sektor terpenting dalam
pengembangan kehidupan di negeri ini ditempatkan sebagai bahan
eksperimen. Maka wajar saja jika banyak “pendidik” di lapangan yang
mengkritisi kinerja Kementerian Pendidikan. Lebih jauh, praktisi
pendidikan yang juga merupakan seorang pengajar di Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka ini juga menerangkan efek moral yang
tersebar dari kebobrokan tersebut.
“Pelajaran langsung dari Ujian Nasional yang amburadul pada tahun ini
adalah bagi anak2 Indonesia adalah bhwa Pejabat Publik BOLEH lalai atas
pekerjaan negara yang penting dan kemudian minta maaf. Ingat mereka
adalah pada usia BELAJAR sehingga pelajaran langsung seperti ini akan
merasuk langsung sebagai bahan pembelajaran yang tersimpan di
‘long-term’ memory. Mereka calon pejabat-pejabat publik pada masa datang
di negeri ini… *airmata tak terasa meluncur.”
Beberapa hari terakhir, saya mencoba mengerti dan merasakan mengapa
beliau terus mengeluarkan kritik terhadap rencana penerapan Kurikulum
2013 dan pelaksanaan UN di Indonesia namun, ketika saya membaca kicauan
beliau di atas, hati saya tersentak untuk mengatakan sesuatu terhadap
apa yang terjadi di negeri ini. tegas saya simpulkan bahwa “pendidikan”
di negeri ini hanya ada di dalam kelas. Di luar kelas tidak terlihat
contoh-contoh penerapan pendidikan, terlebih pendidikan berkarakter
seperti yang didesas-desuskan di kurikulum belakangan ini. Jangankan
menerapkan karakter-karakter positif pada siswa, menerapkan karakter
disiplin pada management pendidikan saja tidak sanggup.
Tragedi UN kali ini secara tidak langsung sejatinya telah menunjukan
kegagalan pengelola pendidikan namun, menteri pendidikan menjelaskan
bahwa keterlambatan UN terjadi akibat kelalaian pihak percetakan.
Kementerian Pendidikan seharusnya telah memiliki prediksi dan antisipasi
terhadap kebijakan sekrusial UN yang juga telah dipersiapkan oleh para
pendidik di lapangan berbulan-bulan dan tidak hanya menyiapkan kata
“maaf” untuk Indonesia karena toh sekalipun ada siswa yang meminta maaf
jika gagal dalam ujian pun mereka tidak akan dimaafkan dan diluluskan.
Bagaimana kaitan UN dengan Kurikulum? Apakah ada indikasi khusus
terhadap kurikulum baru dari peristiwa kacaunya pelaksanaan UN di
lapangan? Jelas, tidak benar kalau dijawab tidak ada. UN adalah bagian
dari elemen pembelajaran yang diterapkan untuk mengukur tingkat
pencapaian siswa. Jika pelaksanaan terhadap UN yang hanya bagian dari
elemen pembelajaran saja tidak becus, bagaimana mau
mengimplementasikan kurikulum yang jauh lebih kompleks akan sarat
keberhasilan. Lebih jauh, kurikulum 2013 yang dibangga-banggakan tidak
datang melalui riset khusus. Hal ini mendatangkan pertanyaan baru yang
jawabannya saya kira tidak perlu dipaparkan disini, bagaimana bisa
kurikulum 2013 yang merupakan kurikulum baru diterapkan dengan baik
kalau menerapkan UN yang “sudah bertahun-tahun” saja masih sering
terjadi kesalahan?
Komentar
Posting Komentar