Diari untuk Indonesia (spesial 17 Agustus 2013)
17 Agustus Tahun 2013 ini adalah HUT RI yang ke 68 dan 15 Agustus
tahun ini adalah miladku yang ke 24. Tidak terasa sudah 24 tahun aku
hidup di negeri ini dengan label Warga Negara Indonesia. Sudah sangat
banyak fasilitas-fasilitas negeri yang ku kenyam dan ku rasakan walaupun
harus diakuis, nilai fasilitas kehidupanku yang lebih banyak bergerak
di Jakarta tidak seimbang dengan fasilitas negeri yang ku dapat ketika
aku sedang berada di pelosok. Sejujurnya, aku merasakan banyak perbaikan
yang sudah dicapai negeri ini namun, semakin aku besar, semakin banyak
karya budaya asli negeri ini yang seakan luput dari perhatian dan
pelestarian. Sebut saja Wayang, kesenian jawa yang satu ini tidak banyak
pemuda yang bangga melestarikannya. Pemuda lebih banyak tenggelam pada
movie dan musik barat dengan tanpa ada perhatian sedikitpun terhadap
warisan karya seni dan budaya negeri yang satu ini. Mau dibilang apa,
aku tidak memiliki cukup kemampuan untuk menggelar festival atau
pertunjukan kebudayaan sebagai tempat apresiasi dan pelestarian seni dan
budaya bangsa ini. Disisi lain, aku tidak mendapat kesulitan ketika
harus menggelar acara apresiasi musik untuk band-band lokal. Ya maklum
saja, pasar lebih mengarah kepada musik modern ketimbang seni dan budaya
daerah.
24 tahun aku hidup, aku merasa belum ada yang aku persembahkan untuk
negeri ini. Paling-paling hanya mendo’akan dan berharap-harap pada
pemimpin. Tapi tidak juga, dengan tidak membuang sampah sembarangan aku
sudah melakukan hal kecil untuk tanah pertiwi. Paling tidak ia tidak
merasa dijadikan tempat sampah, karena aku membuang sampah pada
tempatnya. Profesiku kali ini yang sebagai seorang pendidik mendatangkan
beban moral tersendiri. Apa ya? Pendidik itu adalah pencipta masa
depan. Bagaimana seseorang mendidik adalah bagaimana masa depan akan
terbentuk. Ya, ku akui ilmu pengetahuan memang sangat penting, tapi
tidak sepenting ilmu moral. Aku lebih khawatir ketika melihat seseorang
bermoral rendah dan berilmu tinggi ketimbang sebaliknya, termasuk juga
khawatir terhadap moralku. Kita bisa lihat banyak kasus negeri ini yang
mencerminkan rendahnya moralitas. Sebut saja mereka yang menduduki
jabatan tinggi dan terlibat kasus suap atau korupsi, dan sebut saja
mereka yang datang dan pergi ke kantor dinasnya dengan sesuka hati,
mereka adalah orang-orang berpendidikan tinggi dengan pengetahuan
moralitas yang tinggi tapi, aplikasi moral yang sangat rendah
menyebabkan semuanya hancur dan berantakan. Garis lampu merah yang
banyak diinjak oleh kendaraan, padahal disana adalah batas untuk
berlalunya penyebrang jalan. Bahkan mungkin ketika aku menulis, ada yang
mengatakan “sok”. Terserah saja, negeri ini telah banyak dilecehkan
dengan direndahkannya orang-orang yang mau belajar dan mencoba bersikap
benar.
68 tahun ya, aku berharap aka nada perbaikan moral dari apa yang
telah ku lihat. Hanya bias berdoa saja, karena ku yakin penduduk negeri
ini pintar-pintar dan cerdas, aku sangat yakin benar dan salah telah
dipahami dari dalam diri setiap individu, tinggal bagaimana menjadi
lebih tegas dalam bersikap bijak terhadap segala sesuatunya, tidak
mementingkan kepentingan individu dan kelompok. Berikan jalan bagi yang
hendak menyebrang, buang sampah pada tempatnya, datang dan bekerja serta
penuhi kewajiban dengan niat ibadah, Insya Allah semua akan membaik.
Negeri ini memiliki potensi besar untuk mensejahterakan kehidupan
warga negaranya sejak pertama kali Bung Karno melakukan pemberantasan
buta huruf. Dan kini, aku berharap ada pemberantasan buta moral. Dari 24
tahun lamanya aku menginjak negeri ini, mungkin hanya tulisan ini yang
bisa aku persembahkan untuk negeri ini.
Komentar
Posting Komentar