Perjalanan Ke Desa Ciseeng

18 Juli 2008 sekitar pukul 14.00 saya bersama ketiga anggota PK IMM FKIP yaitu Hafezh, Teguh dan Selmi pergi ke Ciseeng, Parung untuk mensurvei tempat penginapan yang struktur yayasan untuk acara TMO (Technik Management of Organization) universitas Muhammadiyah Jakarta sekaligus melakukan Bakti Sosial dengan masyarakat sekitar yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 25 Juli 2008. hari itu adalah
perjalanan yang sangat melelahkan. Betapa tidak, Bung Teguh yang mengetahui tempat mulia itu tidak mengetahui jalan singkat yang harus ditempuh sehingga kami harus bertanya-tanya kepada orang-orang yang sibuk berbincang sambil menatap ke tengah ruas jalan yang rusak dan tak kunjung membaik.


Sekitar pukul 15.00 WIB kami mendarat di penginapan tersebut. Disana aku tak kuasa menahan haru kehidupan desa yang indah. Kehidupan disana sangat rukun, tentram, dan warga disana sama sekali tak menunjukan kesombongannya kepada kami. bahkan sang penjaga penginapan sejuk tersebut memperlakukan kami selayaknya Katsumoto menyambut kedatangan Algren Nathan dalam film The Last Samurai-nya. Dan Bung Teguh langsung menanyakan masalah penginapan dan tetek bengeknya dengan penjaga penginapan disana. Setelah itu kami berbincang-bincang dan bergurau sejenak untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga, karena di sekitar sana tidak terdapat warung, yang ada hanyalah persawahan dan seorang bapak tua yang sibuk memotong rumput halaman penginapan pada saat itu.


Setelah beberapa menit berbincang, kami sholat ashar berjamaah dengan diawali komat yang penuh dengan canda, sehingga 5 menit waktu kami terkikis untuk waktu komat. Selesai sholat kami pergi ke kediaman ketua RT disana untuk menanyakan jumlah anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak yang rencananya akan dishodakohkan alat-alat tulis, namun beliau tidak ada ditempat dan kami hanya bertemu dengan Ibu RT.


Sesampainya di kediaman sederhana yang hanya dihiasi papan bertuliskan KETUA RT 02 itu, tanpa kompromi Bung Teguh langsung mengetuk pintu rumah yang lapuk itu sambil menyerukan ucapan salam tulusnya, tak lama kemudian keluar seorang perempuan baya yang nampak kebingungan ketika melihat orang-orang asing yang berdiri dihadapannya. kemudian dengan sedikit menundukan kepalanya Bung Teguh melontarkan dua patah kata “Maaf ibu,,”secara spontan kata itu menghipnotis pandangan ibu itu kepada wajah merah kami yang disebabkan karena teriakan dari dalam perut kami. “Kami dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta ingin mengadakan acara di yayasan penginapan, dan kami ingin menanyakan jumlah anak SD dan TK yang ada di RT ini.” Lanjutan dari perkataan santun Bung Teguh, kemudian ibu itu menjawab dengan raut kebingungannya, “waaduuuuuuh, kalo itu mah saya nggak tau!!!” kemudian Bung Selmi bertanya dengan wajah laparnya, “Sekarang Bapa-nya ada nggak?” kemudian ibu itu menjawab dengan wajahnya yang tertekan akibat pertanyaan Bung Selmi, “Bapa-nya ga ada, lagi disono…kebo disawah! perlu dipanggilin???” kemudian “jauh ngga, kira-kira lama ngga???” Tanya Mas Teguh dan Bung Selmi dengan cepat, dan ibu itu menjawab “yaa lumayan, aga’ lama juga si kalo dipanggilin!” lalu dengan cepat kami menjawab “kalo lama ngga usah deh bu!!!” Kemudian Mas Teguh bertanya “emm gini aja,, ibu… ada nomer handphone g?” Ibu itu menjawab “ngga ada, hpnya ngga dibawa sama bapanya!” Bung Selmi pun kesal dengan ke-lebay-an ibu itu dalam menanggapi pertanyaan Mas Teguh, karena Mas Teguh tidak menanyakan bapa RT membawa handphone atau tidak, melainkan ia ingin meminta no hp atau telp rumah tersebut. Dengan tegas Bung Selmi pun bertanya “dirumah ini ada telp rumah ga?” belum sempat ibu itu menjawab Mas Teguh dengan lekas menghaluskan pertanyaan Bung Selmi yang menakutkan itu, “emm ibu disini ada nomer hp atau telpon rumah yang bisa dihubungi ga?” kemudian ibu itu menjawab, “ohh, ada!!! Liat aja dipapan tuh!!!”Jawab ibu itu sambil menunjuk kepapan RT yang tak kami sadari keberadaan nomor hpnya, kemudian saya bingung, ketika kami sedang mencatat nomor HP di papan itu, ibu itu malah menyuruh anaknya memanggil sang ayah yang sedang sibuk dengan pekerjaan kasarnya di sawah, padahal kami sudah menegaskan jika membutuhkan waktu lama tidak usah dipanggil. Lalu dengan tegas aku berkata, “ngga usah bu, kan udah ada nomernya!!!” Anehnya, ibu itu bukan cepat-cepat menghentikan langkah panik anaknya, tetapi malah menunggu aku yang memberitahu dua bocah lugu tersebut. Kemudian, “De,,ngga usah dipanggil De!!!” Sedikit keras aku memberitahu anak ibu tersebut yang tak mau mendengarku dan tetap melangkah kearah belakang rumahnya menuju sawahnya. Yang lebih menjengkelkan lagi, setelah anak itu tak terlihat karena terhalang oleh rumahnya ibu itu baru berteriak “Deee…Ngga jadi De… Ngga usah dipanggilin!!!” Sangat disayangkan, teriakan ibu itu tak terdengar oleh kedua anak lugu tersebut, dan mereka tetap berlari memanggil ayahnya. Kemudian kami pun pamit dengan menjabat tangan ibu itu dan disertai ucapan “assalammu ‘alaikum” yang tulus dari kami berempat. Dan kami pun langsung pulang menuju kontrakan Bang Ipung, Mantan Presiden Mahasiswa UHAMKA tahun 2007 lalu yang tinggal satu kontrakan bersama dengan Mas Teguh dan beberapa teman lainnya.


Sungguh sangat menjengkelkan, aku jengkel bukan karena ke-lebay-an ibu itu, tetapi karena aku tidak mau merepotkan mereka.

Maklumlaaah…namanya juga musafir yang sedang kelaparan…jadi bawaannya emosi terus…

Annas@2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Prosedur Pembuatan SIM C

Aku hanya Ingin Bersandar di Ka’bah, 5 Detik Saja (Kenapa Aku Senang Candai Malaikat)

Bianca: Antara Kemenangan dan Keikhlasan