Bakti Sosial VS Dekadensi Moral

13 April 2013, aku pergi ke sebuah daerah tersudut, yaitu Jonggol, Bogor. Keberangkatanku kesana adalah untuk menghadiri acara Bakti Sosial yang diselenggarakan oleh PK IMM FKIP Jakarta Selatan. Disana aku tidak menemukan kejanggalan, keadaan lingkungan yang banyak dipenuhi pohon-pohon besar itu ku anggap normal.

Anjing hutan adalah hewan yang paling menarik perhatianku kala itu. Mereka menghiasi malam hingga pagi hari seperti lingkungan tersudut di Sawarna dan Wonogiriyang pernah ku jejaki. Kehadiran anjing-anjing yang menyambut kedatanganku membuat yakin bahwa desa itu berisikan orang-orang yang ramah. Entah apa yang membuatku berkesimpulan seperti itu, yang pasti, setiap desa yang disana terdapat anjing hutan, yang pernah ku kunjungi, selalu memberikan perlakuan seperti apa yang sering dikaitkan dengan kata tamu adalah raja. Banyak orang mengungkapkan tamu adalah raja ketika mereka menjadi tamu, tapi tidak ketika mereka menjadi tuan rumah. Namun di desa yang terdapat anjing hutan aku selalu diperlakukan seperti raja. Mungkin kalian juga pernah merasakannya.

Aku bahagia dari dalam hingga keluar hatiku terhadap proyek akhirat tahunan yang diselenggarakan oleh PK IMM FKIP Jakarta Selatan ini. Kegiatan ini selalu membawaku pada malam dimana aku tidak memiliki alasan untuk tidak bersyukur terhadap apa yang aku dititipkan-Nya. Bagaimana tidak, masyarakat disana tinggal dengan alakadarnya namun mereka tidak menyembunyikan senyum mereka untuk menyambut matahari dan memberi pakan burung peliharaan mereka. Ya, aku melihat mereka bersyukur dengan apa yang mereka miliki walaupun jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan apa yang ku miliki.

Malam itu, ku lihat banyak sekali bintang. Aku terkagum, mengapa bisa ku lihat bintang-bintang itu seperti berada tidak jauh dari tempat ku berdiri. Pagi harinya, 14 April 2013, awan membentuk gumpalan-gumpalan uap yang sangat indah. Aku heran mengapa awan itu bisa memberikan pemandangan yang indah, karena selama ini aku hanya menemukan awan yang indah di pesisir pantai. Ah, ternyata setelah ku tanyakan pada temanku yang belajar di ranah studi fisika, itu semua terjadi karena tidak adanya folusi udara dan cahaya yang biasa ada di kota-kota besar yang padat akan gedung-gedung besar dan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.

Sayang, pagi hari yang indah itu runyam ketika ku dapati cerita bahwa seorang pendidik telah mengajari adik-adikku untuk berbohong. Demi bintang-bintang malam yang pastinya redup, aku tidak bersedia menyebut orang itu pendidik. Ia memanfaatkan apa yang telah diupayakan oleh adik-adikku ini untuk entah itu membesarkan namanya atau merauk keuntungan lain dibalik itu. 

Apapun itu, yang mengetahui hal ini hanyalah orang-orang tertentu dan siapapun yang terkait dengan judul artikel ini pasti memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadapnya. Ini adalah sindiran lebih lanjut terhadap apa yang telah ku kutip dan posting sebelum ini bahwa “Para pendidik kini terjebak pada formalitas mengajar dan jarang mau terjun ke masyarakat. Ketika menulis buku pun lebih didominasi oleh motif berjualan daripada pengembangan keilmuan. Menulis di koran atau jurnal pun terkadang lebih dimotivasi oleh kredit poin untuk naik pangkat dan popularitas di tengah masyarakat daripada alasan untuk ‘mentransfer’ pengetahuannya.” (Indra Hikmawan Saefullah 2013)

Dan ternyata telah ku lirik dengan jelas, dekadensi moral pun berada pada orang yang seharusnya mencegah terjadinya dekadensi moral tersebut. Seorang pengajar yang tadinya ku pandang mempesona ternyata berdiri diatas dekadensi itu. Sungguh hal itu membuatku muak untuk belajar menerima perbedaan, karena bagiku, ini bukanlah perbedaan yang harus ku hargai.

Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar Tuhan menguatkan adik-adikku dari segala fitnah. Betapapun kerasnya ujian yang mereka sedang menghadapinya, hanya keberanian untuk tegaknya kebenaran yang dapat membawa mereka berjalan diatas jalan yang lurus. Aku berharap dengan segenap do’a agar amanah kebohongan ini tidak dijalankan. “Dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)

Di luar itu semua, aku menyimpan kebanggaan terhadap apa yang telah susah payah diupayakan oleh adik-adikku. Mereka selalu berhasil membuatku tersenyum di setiap amal baktinya. Tepat jika ku katakana aku mencintai mereka. Tidak ada hal yang membuatku tersenyum selain niat tulus yang dijalankan. Aku yakin dengan apa yang ku lihat, bahwa ketulusan itu adalah benar adanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Prosedur Pembuatan SIM C

Aku hanya Ingin Bersandar di Ka’bah, 5 Detik Saja (Kenapa Aku Senang Candai Malaikat)

Bianca: Antara Kemenangan dan Keikhlasan