15 Tahun Berhutang Ayat Tuhan

Puji syukur kehadirat Tuhanku yang Maha Agung yang masih mengizinkan aku hidup hingga detik ini. Hidup dengan disemayami hutang selama hampir 15 tahun lamanya bukanlah suatu kebanggaan yang nyata ataupun fana. Siapapun tidak akan tenang hidup dengan mengemban hutang, terlebih hutang itu melilit selama lebih dari 10 tahun.
Ini bukanlah tentang hutang yang berbentuk uang, karena 15 tahun lalu aku hanyalah seorang pelajar tingkat 6 sekolah dasar terhitung dari detik aku menulis kisah ini. Adalah hal yang tidak wajar apabila aku berhutang uang sejak masa kecilku hingga kini. Namun, bagaimanapun bentuknya, hutang adalah hutang yang harus kubayar sekalipun orang yang kuberhutang padanya tidak menagihnya kepadaku.
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, ayah sering menyuruhku untuk sholat berjamaah di masjid. Karena ayahku sibuk dan jarang ada di rumah, maka perintah itu aku emban tanpa kontrol hingga sholat maghrib adalah satu-satunya waktu favoritku untuk menjalankan perintah ayahku. Bukan tanpa alasan, aku senang melakukan sholat maghrib di masjid karena beberapa teman-teman pun melakukannya dan aku tidak sendirian. Selain itu, waktu ketika dzuhur datang, rasa malas selalu berhasil membuatku lupa terhadap perintah ayahku. Sedangkan saat ashar tiba sering kali aku lalui dengan memejamkan mata hingga seakan mematikan fungsi telinga.
Pada suatu senja, selesai sholat maghrib berjamaah, seorang pemuda, ‘Bang Ian’ aku memanggilnya, mengajak aku dan teman-temanku untuk belajar mengaji. Ia adalah orang yang berhasil membuat aku dan teman-teman melakukan sholat berjamaah setiap kali waktu sholat datang, kecuali waktu subuh. Bang Ian mengajarkan kami banyak hal. Selain itu, ia juga mengajarkan nasyid pada kami. Aku yang senang bernyanyi jelas sangat tertarik dengan nasyid dan bahkan aku lebih bersemangat untuk latihan nasyid ketimbang belajar mengaji.
Suatu hari ketika sedang latihan nasyid untuk sebuah acara besar di masjid Baiturrahman, tempat kami mengaji dan berlatih, aku terlalu banyak bercanda dan tertawa hingga Bang Ian mengatakan “yang terus bercanda dan ketawa nanti akan dihukum menghafal surat An-Naba ayat 1-23”. Sungguh, aku tak bisa mengontrol diriku, entah mengapa tawa itu tak mampu kuhentikan meskipun ancaman hukuman yang berat (bagiku kala itu) telah menanti. Wajar saja, ayat-ayat dalam surat An-Naba sangat jarang sekali dibaca oleh imam di masjid kami ketika sholat berjamaah, bahkan mungkin tidak pernah kudengar sebelumnya. Latihan kami hari itu akhirnya selesai tanpa ada yang mendapat hukuman.
Senja hari itu, aku dan teman-teman sholat berjamaah di masjid. Selesai sholat, seperti biasa, kami selalu berkumpul dengan Bang Ian untuk mengaji namun, yang kudapat ternyata adalah hal yang mengejutkan. “Annas, kamu hafalkan surat An-Naba ayat 1 sampai 23 minggu depan sudah selesai ya!” ucapnya sembari menatapku berharap aku mematuhi perkataannya. Aku yang kebingungan tak bisa menjawab dan malah balik bertanya “23 Bang?”, Iya mengangguk dengan tanpa sedikitpun ada keraguan terhadap kesanggupanku. Teman yang lain pun ikut mendapat perintah menghafal surat tersebut, namun tak sebanyak jumlah yang dibebankan kepadaku dengan waktu yang ditentukan.
Hari-hari berlalu dengan iringan hafalan ayat-ayat An Naba yang hendak kami hafalkan. Belum sampai 10 ayat aku menghafalkannya, aku dan keluargaku pindah rumah dan tak lagi bergabung dengan teman-temanku dan juga Bang Ian.
Entah bagaimana akhir dari perkumpulan itu, yang pasti sejak hari itu, aku hidup dengan terbebani hutang ayat. Aku kesulitan menghafal ayat-ayat itu sendiri dan tanpa teman. Tanpa ada yang membantuku, rasanya mustahil aku bisa menghafal ayat-ayat tersebut. Hingga aku terlupa akibat kilaunya dunia luar yang membuatku sibuk dan buta dengan hutangku selama lebih hampir 15 tahun. Terlalu banyak kesibukan dan hal fana yang membuatku hidup di atas dunia tanpa sedikitpun mampu menyadari ayat-ayat yang semakin jauh aku tinggalkan.
Klik di sini untuk melihat biografi singkatku.

15 tahun kemudian, tahun kedua aku bekerja di SD Nizamia Andalusia, aku dipertemukan dengan teman yang tiba-tiba mendekatkanku kembali kepada masa laluku yang telah lama sekali hilang dari ingatanku. Pak Dahri, seorang guru agama ketika itu sedang menghafalkan surat An-Naba, dan aku bertanya “untuk apa hafalkan surat itu Pak?”, Beliau kemudian menjawab dengan senyumnya yang menawan “untuk dihafal saja, setelah itu setoran hafalan setiap jam 3 sore di puncak sama Pak Fathur.” Puncak adalah sebutan untuk sebuah perpustakaan dan Pak Fathur adalah seorang ustadz yang juga seorang guru agama di sekolah ini.
Setoran ayat yang Pak Dahri lakukan mengingatkanku pada Bang Ian yang dulu aku berhutang ayat kepadanya. Seketika aku teringat kembali hutang yang selama ini aku tinggalkan jauh-jauh. Sore hari itu juga aku datang ke puncak dan melihat Pak Ahmad baru saja selesai setoran surat Al Quraish kalau aku tidak salah ingat. Aku sungguh malu dengan apa yang aku lihat, teman-temanku yang lebih tua dariku, bahkan ada yang berumur jauh lebih tua dariku masih mau menghafal ayat Al Qur’an sementara aku sibuk menghabiskan hidupku dengan meninggalkan ayat-ayat yang dulu pernah aku hafalkan. Tanpa ragu saat itu aku langsung meminta Pak Fathur untuk membantuku menghafalkan surat An-Naba. 22 Februari 2015 adalah hari pertama aku menghafalkan surat itu. Esoknya, Pak Fathur membuat kartu hafalan untuk data setoran ayat kami. Setoran ayat yang pertama kali aku lakukan hanya mendapat keterangan adalah jayyid. Jayyid adalah keterangan untuk hafalan yang tidak lancar dan tidak fasih. Aku kecewa dengan hal ini. Esoknya, aku mengancam sebelum setoran bahwa hari ini aku harus mendapat gelar mumtaz, hingga aku ditertawakan oleh Pak Aman, pengurus Perpus yang juga membantuku menghafal sebelum setoran ke Pak Fathur. Setoran selesai dan aku hanya mendapat keterangan jayyid jiddan, yang diberikan untuk hafalan yang masih dibantu. Hari ketiga, setoran memasuki ayat di atas 10, aku kembali mengancam kalau kali ini aku harus mendapat gelar mumtaz namun, setoran hafalanku di akhir ayat tidak lancar hingga aku lagi-lagi gagal mendapat gelar mumtaz. Hingga aku merayu beliau “Bro, mumtaz lah” harapku. “Tadi terakhirnya dirimu ga lancar bro” jawabnya menolak rayuanku. Aku kecewa sekali namun rayuanku belum selesai, “gini aja bro, ayat yang gak lancar jangan ditulis, jadi tulis aja ayat 1 s/d 10, tapi dengan gelar mumtaz” pintaku berharap mendapat keterangan mumtaz dan beliaupun setuju. Hingga ayat-ayat berikutnya, aku selalu meminta beliau untuk tidak menulis ayat yang aku tidak lancar membacanya walaupun tetap saja gelar mumtaz sangat jarang kudapat. Namun aku sadar, aku hanya sedang menguatkan diriku karena andai saja ditulis semua ayat yang kusetorkan tanpa dipotong ayat yang aku tidak lancar membacanya, keterangan bacaan hafalan yang kudapat mungkin hanyalah jayyid. Sedangkan mumtaz adalah keterangan untuk bacaan yang sempurna. Aku melakukan itu karena aku yakin, suatu saat aku pasti bisa menghafal surat An-Naba dengan benar dan keterangan Mumtaz.
Suatu hari, Pak Fathur tidak masuk kerja, aku kebingungan, bagaimana aku setoran. Padahal sudah 3 hari aku tidak setoran. Akhirnya aku memutuskan untuk setoran ke Pak Taufik, seorang guru matematik berusia 26 tahun yang juga hafal dengan surat An Naba. Dan sekali ketika pak Fathur sedang mengajar, Pak Aman menjadi sasaran tempatku setoran, tapi gelar yang diberikan selalu jayyid. Jelas saja, karena beliau tidak memotong ayat yang aku tidak lancar membacanya pada kartu hafalanku. Hahaa...
Selain mereka, ada juga Pak Luthfi, guru kelas 3 yang paling sering membantuku menghafal, setiap istirahat, selesai makan siang, aku pasti membaca ayat yang kuhafal dan beliau selalu mengoreksi. Selain itu, setiap Rabu, aku dan Pak Luthfi memang tidak pulang, sehingga aku punya banyak waktu untuk menghafal surat tersebut. Walaupun beliau sedang nonton film, pemuda beranak satu ini tetap saja nyeletuk jika bacaanku sedang tersendat atau salah. Dasar berisik. Di samping Pak Luthfi, ada juga Pak Asep yang juga selalu menyemangati agar aku bisa menghafal surat itu.
Dua minggu sudah berlalu, alhamdulillah aku telah melunasi hutang ayat tersebut. Namun aku tidak ingin berhenti di sana. Aku yakin aku pasti bisa menghafal surat ini hingga akhir ayat. Aku sudah hafal hingga ayat ke 28, tak lama lagi aku menguasai surat An Naba namun sayangnya, aku mulai bosan menghafal. Beruntung, ada seorang guru olah raga di sekolah yang selalu cengengesan yang sangat bersemangat untuk setoran, Pak Putra namanya, ia membantu membangkitkan semangatkun untuk terus menghafal. Sampai di ayat ke 35, lagi-lagi aku kesulitan menghafal dan mulai mengeluh. Suatu malam di sekolah, aku hendak mengerjakan worksheet dan RPP di kantin sekolah. Aku yang sedang mengulang-ngulang surat itu sembari berjalan terkejut ketika Pak Pras, guru olahraga yang sudah beranak dua bersimpangan denganku di lorong sekolah sambil membaca surat itu. Ya, beliau memang tahu aku sedang menghafal surat itu karena aku sangat sering mengulang-ulang bacaan surat itu dengan tersendat-sendat.
Aku heran mengapa begitu banyak orang bisa menghafal surat itu namun aku tidak. Aku sangat malu dengan apa yang telah berlalu karena aku telah menelantarkan hutang ayat ini hingga hampir 15 tahun lamanya dengan rasa pesimis yang sangat tinggi. Berhutang ayat Tuhan secara materi tidak membuatku sedikitpun membuat rugi memang namun, aku sangat senang dengan keberhasilan ini. Aku merasa mendapat banyak keuntungan walaupun bukan dalam bentuk materi. Ini adalah keberhasilan keduaku dalam berhadapan dengan ayat Tuhanku, Allah SWT Yang Maha Penyayang. Suatu hal yang menepis segala prasangka burukku terhadap bahasa Arab yang selalu gagal aku mempelajarinya.
Terima kasih untuk semua teman-teman yang sudah membantuku melunasi hutang ini, Pak Fathur, Pak Lutfi, Pak Aman, Pak Taufik, Pak Dahri, Pak Ahmad, Pak Pras, Pak Putra, Pak Asep. Terima kasih untuk Bang Ian yang sudah memberikan hukuman ini kepadaku sehingga bukan lagi lirik lagu yang menjadi teks terpanjang yang ada di kepalaku, melainkan ayat-ayat-Nya. Kini aku sadar itu bukanlah hukuman melainkan pembelajaran penting bagiku terhadap sugesti negatif yang sering aku letakan pada Bahasa Arab yang menurutku asing dan sangat sulit untuk dihafal. Faktanya adalah, semakin negatif dugaan yang diletakan terhadap suatu hal, akan semakin jauh hasil positif yang didapat dari hal tersebut.

Unedited writing by Annas Surdyanto
This note is property and copyright of Annas Surdyanto
Provided for educational purpose only.
Copyright © 2015 annasta.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Tentang Prosedur Pembuatan SIM C

Bianca: Antara Kemenangan dan Keikhlasan

???